CERITA DEWASA PENARI JALANAN BERTUBUH SEXY DIPERKOSA

CERITA DEWASA PENARI JALANAN BERTUBUH SEXY DIPERKOSA

CERITA DEWASA PENARI JALANAN BERTUBUH SEXY DIPERKOSA, Hasrat-Bispak21 Semuanya orang didalamnya harus berusaha serta berkorban supaya tak terdepak, dan tidak semuanya jalan yang dapat dilewati itu terang-benderang…Izinkan saya ceritakan peristiwa hidup saya. Nama saya Darmini, tetapi orang gak banyak yang mengenali nama asli saya. Bapak dan Simbok panggil saya Denok, itu panggilan biasa buat anak wanita di daerah saya, tetapi maknanya tidak sekedar itu. Denok pula memiliki arti montok alias sintal, serta ternyata makna itu yang lebih dikenang banyak orang-orang di kehidupan saya di Ibu-kota. Zaman kecil saya dihabiskan di daerah, jauh dari Ibu-kota. Saya anak hanya satu Bapak dan Simbok, satu keluarga petani penggarap yang gak berpunya. Sejak mulai kecil saya diajari menari oleh Simbok, sebab beliau sendiri waktu muda yaitu seseorang penari, serta seringkali ditanggap bila ada acara di daerah. Sayang, kehidupan kami yang damai di daerah berhenti saat satu hari saya serta Simbok temukan Bapak menggantung diri. Nyatanya Bapak punyai banyak hutang lantaran hilang ingatan judi, dan beliau tidak sanggup membayar hutangnya itu. Kami terang bersedih lantaran Bapak telah tak ada, dan juga kebingungan lantaran sekian hari sehabis Bapak disemayamkan, kami ditendang dari rumah sebab rumah kami diambil agen judi yang memberikan hutang terhadap Bapak. Kami tidak mempunyai lokasi tujuan, dan uang simpanan kami gak berapa. Simbok selanjutnya ngotot ajak saya berpindah ke Ibu-kota cari penghidupan.


"Denok, kita nggak dapat apapun kembali di sini, di kota kita dapat mencoba mencari uang, semoga dari sana mendingan ketimbang di sini," kata Simbok.


Saya sekedar alumnus SMP, Simbok alumnus SD. Kami sama gak sadar hidup di Ibu-kota demikian beratnya. Melamar pekerjaan ke sana-kemari, gak diterima lantaran dirasa pengajaran kurang tinggi. Mencari kerja yang tidak penting ijazah, lawan banyak. Selanjutnya sesudah cukuplah lama melihat beberapa peluang yang ada, Simbok menentukan untuk manfaatkan ketrampilan kami. Dengan modal baju dan perabotan yang kami membawa dari daerah, dan radio tape sisa serta kaset-kaset musik tradisionil yang kami membeli dari pasar loak dengan tersisa uang, awali kami berdua jadi penari jalanan.


Waktu gadis-gadis seumur saya yang di kota tengah persiapan ujian akhir SMA atau menempuh tahun mula kuliah, dan yang di dusun tunggu dijodohkan oleh orangtuanya, saya memulai jalani kehidupan anyar, menawarkan ketrampilan seni tari bersama Simbok. Awalannya kami berkeliling-keliling Ibu-kota, sebatas cari keramaian di mana kami dapat mendapatkan sekian lembar rupiah buat bertahan hidup. Kami biasa mulai pagi-pagi, mengevaluasi jalanan Ibu-kota untuk cari beberapa orang yang pengin kami hibur dengan tarian kami. Rupanya tidak ringan  cari uang dengan sesuai ini, paling-paling yang kami peroleh hanya buat makan kami berdua, satu atau 2x di hari itu. Serta tidak di semuanya tempat kami dapat mendapatkan pirsawan yang siap bayar, kadang kami justru ditendang atau dihardik. Sesudah lumayan lama, kami berjumpa tempat di mana kami dapat selalu bisa pemirsa dan uang: satu pasar induk yang lumayan besar, serta lingkungan disekelilingnya. Kami lantas sewa satu kamar kontrak murah di dekat Pasar. Beberapa orang di Pasar, yang datang dari kelompok menengah ke bawah, haus selingan murah yang dapat buat mereka ingat daerah masing-masing. Datangnya kami di situ selalu disongsong senyuman, tawa, dan helai-lembar uang yang kumal hasil perasan keringat mereka. Biarpun sering helai-lembar itu diserahkan kepada kami oleh kurang santun umpamanya dengan diumpetkan ke baju kami. Apa saya serta Simbok benar-benar menarik? Entahlah ya. Saya sendiri tak terasa elok. Menjadi anak petani yang kerap main di luar sejak mulai kecil, kulit saya jadi cukup gelap terbakar matahari. Tetapi Simbok pula dari dahulu selalu mengajarkan dan memperingatkan saya untuk menjaga badan meskipun melalui langkah simple, jadi walau sawo masak, kulit saya terus mulus dan tak jerawatan ditambah lagi bopeng-bopeng lho. WAJIB 4D


Oh iya, barusan kan saya udah narasi makna nama panggilan saya, Denok. Dipertimbangkan betul pula sich bila disebut saya montok. Tidak tahu mengapa, kendati rasanya dari kecil makanan saya bergizi ngepres, kok tetap tubuh saya bisa-bisa ya. Saat sebelum remaja saja tetek saya telah tumbuh, serta saat ini jadi subur gumebyur hingga saya terus khawatir dengan kemben saya setiap kali menari. Pantat saya  kuat dikarenakan dibuat latihan olah badan dalam tarian. Ada yang katakan bahenol, saya sich matur nuwun saja kalaupun ada yang menganggapnya demikian. Bertanya-tanyanya, walau atas bawah besar, tengahnya tidak turut besar, perut serta pinggang saya masih singset. Saya menganggapnya masih singset masalahnya kelihatannya kelak tubuh saya bakal jadi seperti tubuh Simbok, tengahnya mulai ikut-ikutan lebar. Nach, bila Simbok itu elok. Hingga sampai usia begitu lantas beliau selalu elok. cerpensex.com Apa lagi apabila sudah gunakan sanggul serta dandan, wuihh. Semuanya orang nengok dan gak tonton apapun kembali. Saya sendiri selalu berasa tidak baik lho kalaupun tampil bersama Simbok. Ah, tetapi sedunia hanya saya sendiri yang nganggap muka saya buruk. Disamping Simbok, beberapa orang yang umum lihat kami menari kok seluruhnya katakan saya elok. Saya pikirkan, ini mah pinter-pinternya Simbok merias saya saja. Waktu pertama kalinya didandani buat ngamen, saya protes, kok sibuk sangat. Rambut harus disasak, disanggul, disunggar, gunakan tusuk dan kembang. Muka perlu dibedaki tebal-tebal, hingga lain warna dengan tubuh. Barangkali tinggal tahi lalat di pipi saya saja yang gak ketutupan. Alis saya yang telah tebal dibuat lebih tebal. Bibir pula diberikan gincu warna merah oke. Saya saat itu ngeluh,


"Kok telah seperti penganten saja, Mbok."


Simbok menjawab, "Yang bernama penari itu gak bisa biasa saja, nduk. Harus kinclong, manglingi. Kita harus buat suka yang lihat."


Semakin lama saya biasa pula pakai dandanan begitu, jadi saya buat jadi guyonan sama Simbok.


"Mbok, saya wis tiap hari tercipta penganten, nanti kalaupun nikah betulan perlu seperti apakah diriasnya?" Dandan muka yang tebal jadi sisi seragam kerja saya, seperti sama kemben, kain batik, serta selendang. 


Namun memanglah yang bernama nasib itu jalannya tidak ada yang ketahui. 2 bulan kami tinggal di dekat Pasar, tragedi hadir kembali. Waktu sedang nyebrang jalan, Simbok ketabrak mobil. Cedera kritis. Saya kuatir, beberapa orang di sekeliling beramai-ramai ngangkut Simbok ke rumah sakit. Namun Simbok tidak terselamatkan. Simbok wafat di rumah sakit seusai 2 hari dua malam usaha ditolong dokter di situ. Sesungguhnya semenjak ketabrak pula Simbok tidak ada angan-angan, tetapi tidak tahu mengapa beliau lama sekali wafatnya. Sekaratnya sampai sepanjang hari. Hingga sampai gak sampai hati saya menyaksikannya. Kala itu ada yang bisik-bisik, barangkali Simbok pasang susuk, karena itu kematiannya sulit. Orang kok sampai hati ya bicara begitu. Namun apa itu betul atau tidak, saya tidak ingin tahu, biarkanlah itu menjadi rahasia Simbok. Saya pada akhirnya sendirian di Ibu-kota, seperginya Simbok. Ditambahkan lagi, uang habis buat mbayar rumah sakit dan penyemayaman, malahan harus berutang kemanapun. Saya tidak bisa melangsungkan acara jenis-jenis buat Simbok, cuma dapat doakan sendiri mudah-mudahan roh Simbok dapat tenang di alam sana dan bertemu kembali dengan Bapak. 1 minggu lebih saya di kontrak saja karena begitu bersusah-hati. Kemungkinan tiap hari saya menangis, bersedih ingat Simbok,  kesepian. Selanjutnya saya memaksakan diri buat keluar kembali, ngamen kembali, sebab uang udah habis serta saya  perlu menghadapi banyak tukang tagih hutang yang tidak ingin tahu kesukaran saya . Maka, 1 minggu selepas Simbok disemayamkan, saya kembali persiapan untuk keluar, menari. Di depan cermin saya tata rambut saya sendiri, saya pasang sanggul dan kembang, saya bedaki muka saya agar tidak tampak sejumlah bekas menangis, saya gunakan kembali kemben dan kain, saya sampirkan selendang di leher. Ealah, serasi keluar kamar saya malahan bertemu dengan ibu yang miliki sewaan. Sang ibu tidak pakai basa-basi langsung tagih tunggakan dua bulan. Saya gak miliki uang, jadi saya hanya dapat omong maaf, serta sang ibu malahan ngancam secara lembut. Gak apapun tidak bayar, tuturnya, tetapi esok kamu keluar tempat saya. Haduh biyung, kok tidak habis-habis ya rintangan untuk saya. Saya pengen usaha dahulu, kata saya, kelak dapat saya bayar. Hari itu saya pergi ngamen, usaha mencari uang buat hidup.


CERITA DEWASA PENARI JALANAN BERTUBUH SEXY DIPERKOSA


Apesnya, hari itu pasar lumayan sepi, serta sehabis dua jam saya baru bisa Rp5000 selepas menari di pangkalan ojek. Saya tidak dapat fokus, kepala sarat dengan pemikiran, bagaimana tekniknya agar kelak kalaupun pulang telah miliki cukup uang buat bayar sewa. Belum hutang-hutang yang lain. Saat siang, saya lagi jalan di barisan beberapa toko besar dari sisi Pasar. Dan di muka toko beras terbesar di Pasar, saya menyaksikan Juragan tengah mengalkulasi segepok uang. Beliau baru-baru ini terima banyak uang, ternyata ada orang yang habis mborong. Saya kala itu cuman tahu beliau sebagai ‘Juragan'. Beliau pemilik toko beras yang besar itu. Beliau telah tua, lebih tua dibanding Simbok, barangkali umurnya udah 50 atau 60 tahun. Kepalanya nyaris botak, rambutnya tipis beruban, kumis serta jenggotnya jarang. Tubuhnya besar dan perutnya gemuk. Sekali kedua kalinya saya serta Simbok pernah menari di muka tokonya, dan pegawai-pegawainya memberinya kami uang namun beliau tidak. Namun beliau pernah pinjamkan uang ke Simbok, serta Simbok sempat mengembalikannya. Saya beranikan diri hampiri Juragan. Ia sendirian di muka toko, sementara anak buahnya repot dalam serta ada di belakang. Tokonya sedang sepi, tidak ada konsumen.


"Juragan," pinta saya. "Anu… saya…"


Juragan lihat saya dengan acuh. "Ada apakah, Denok?"


"…saya… saya…" Duh, saya gak kuat bilangnya. Tetapi saya harus ngomong. "…saya bisa pinjam uang, Juragan? Uang saya udah habis untuk cost penyemayaman Simbok… saat ini saya perlu bayar sewaan dua bulan…"


"Hah?" Juragan lihat saya dengan aneh, "Kamu penting uang?"


"Tolong, Juragan," saya minta kembali, "Saya udah ditagih, ini hari harus ada, atau saya ditendang. Saya janji akan balikkan selekas mungkin." WAJIB 4D


Eh, kok Juragan langsung menyimpan segepok uang tadi ia hitung-hitung.


"Denok," kata beliau dengan dingin, "Saya ini pedagang, bukan tukang memberi hutang. Kamu perlu uang? Kerja sana. Atau kamu berjualan saja."


"Saya saat ini  kembali kerja, Juragan," saya geram namun tidak berani menunjukkan; kelihatannya Juragan tak mau pinjamkan uang. "Sekedar ngerinya saya tak dapat dapat uang ini hari untuk bayar sewaan. Bila berjualan, saya tidak miliki apapun, perlu jual apa?"


Tetapi selanjutnya tatapan Juragan kok beralih menjadi aneh… Beliau dekati saya serta merengkuh saya. Tangannya yang besar itu menggenggam pundak saya.


"Siapa omong kamu gak mempunyai apapun?" bisiknya. "Tubuh kamu bagus, Denok. Saya ingin kok mbayar buat itu." Beliau tarik badan saya merapat ke tubuhnya, sampai pipi saya melekat dari sisi dadanya yang gendut.


"Ihh?!" saya terkejut dengar bisikan Juragan itu. Duh, inikah yang bernama bisikan iblis? "Tubuh… saya?" Bisikan Juragan selalu terngiang di kepala saya. Bergidik bulu-bulu kuduk saya mengandaikan apa tujuannya itu.


"Jika kamu ingin, Denok, saya lunasi bill kontrakanmu yang 2 bulan itu sekaligus mbayar untuk bulan depannya," bisik Juragan kembali.


Duh, biyung, saya perlu bagaimana? Saya penting uang, tetapi apa harus melalui cara sebagai berikut? Namun kalaupun gak, bagaimana kembali? Yang ada saya bakalan ditendang, nggelandang, dan…ujung-ujungnya sama juga. Saya gak punyai alternatif lain…


"…mau, Juragan…" saya berbisik, lirih sekali hingga sampai gak terdengaran. Bila saja gak ketutupan bedak, kemungkinan udah tampak muka saya berganti merah seperti cabai.


Juragan tertawa, tubuhnya yang gemuk itu hingga sampai tergoyang-guncang. "Bagus, Denok. Marilah turut saya. Kamu ikutin saja kataku, kelak kubayar kamu, ya?"


Lantai atas toko beras itu rumah Juragan. Juragan bawa saya naik tangga dari sisi toko, masuk ke tempat tinggalnya. Juragan rupanya tinggal sendirian. Saya ingin tahu, apa Juragan tidak miliki istri? Kami masuk rumah Juragan. Saya terus menyaksikani lantai, tak berani mengusung kepala, tetapi terkadang saya ngintip ke sana-kemari lihat kondisi.


Juragan ternyata tinggal sendirian di atas tokonya. Ada photo tua yang perlihatkan Juragan dengan seseorang wanita—istrinya kah? Juragan merengkuh tangan saya masuk ke satu kamar. Ruangan tidurnya. Ia suruh saya duduk di tempat tidur. Saya duduk, sekalian tundukkan kepala. Juragan berdiri di muka saya, memonitor sekujur badan saya. Ia sentuh dagu saya, sekalian katakan,


"Denok, angkat kepalamu, saksikan saya." Saya nurut. Barangkali ia tonton mata saya ketakutan 1/2 mati.


"Membuka kembenmu," tukasnya.


Ia letakkan selembar uang Rp50.000 dari sisi saya. Saya melihat, lihat uang itu. Besar sekali untuk saya. Umumnya sepanjang hari menari saya tak pernah mendapat uang sejumlah itu. Namun saya masih sangsi. Juragan mendadak ingin ambil kembali uang itu.


"Jika tidak mau ya udah," tuturnya dengan suara kurang suka.


Tetapi saya tahan uang itu dengan tangan saya, lalu saya ngangguk. Haduh, Simbok, Bapak, maafkan saya. Saya terlepas ikatan kemben di punggung saya, lalu perlahan-lahan saya urai belitan kain kemben merah yang membebat tubuh saya. Serasi tinggal selembar belitan yang tutup tetek saya, saya jadi malu, dan saya tahan selembar itu dengan lengan saya. Juragan tersenyum memandang saya.


"Wahh…susu kamu besar, ya? Membuat orang gairah ajah…" saya tonton Juragan nyengir lebar seusai bicara itu. sumpah, baru ini kali ada lelaki terang-terangan ngaku sesuai itu.


Helai uang lima puluh ribu barusan diletakkan Juragan di samping saya ia mengambil, lipat, lalu ia imbuhkan ke… aduh! Ia sisipkan ke belahan dada saya!


"Itu untuk kamu, Denok," tukasnya. Duh, tidak yakin rasanya. Awal mulanya saya serta Simbok perlu menari sepanjang hari, sampai pegal-pegal, buat memperoleh duit kurang dari 5 puluh ribu. Tapi… saat ini saya mendapat uang sekitar itu … kok mudah sekali?


"Betulan buat saya…?" Masih tak yakin, saya bertanya kembali.


"Iya… asal kamu membuka seluruhnya," kata Juragan sembari menyeringai. "Tubuh kamu bagus, Denok. Montok… bahenol…"


Duh, apa artinya itu? Apa Juragan senang dengan badan saya? Seumur-umur belum sempat ada orang yang omong itu ke saya… Jantung saya deg-degan dengarnya. Juragan menarik kain kemben masih yang ditahan tangan saya, serta kainnya melaju demikian saja tiada saya tahan. Saya masih tutupi gunung kembar saya dengan ke-2  tangan. Aduh… malu sekali rasanya, telanjang di muka orang lain…Tapi saya dapat memperoleh uang…


"Nach, Denok, saat ini membuka kainnya, ya?" saat ini Juragan memohon saya membuka pun kain batik coklat yang saya gunakan.


Barangkali karena barusan saya malu serta pelan satu kali membuka kemben, Juragan dekati saya dan menyibak kain batik saya. Saya tiba-tiba mundur, namun tangan Juragan lalu menggenggam bahu saya.


"Tidak boleh takut, Denok…" ujarnya.


Juragan  menggenggam paha saya yang sejumlah tertutup kain batik. Ia remas sedikit paha saya. Suara "Eihh" keluar mulut saya, malu lantaran sentuhan Juragan. Tangannya terus nyelip ke bawah kain saya! Kulit tangan Juragan bersenggolan dengan kulit paha saya, serta saya kian deg-degan. Ia lagi remas-remas paha saya. Saya nggigit bibir, takut keluar suara beberapa macam dari mulut saya. Tangan satunya selalu nyibak kain saya, hingga ke dekat pinggang… Duh, biyung, tengah diapakan saya ini? Kain saya tinggal nyangkut di pinggang saja, sementara ke-2  kaki, betis, dengkul, hingga paha saya udah dikeluarkan dari kemasnya, sedikit kembali kancut saya tampak!


"Tiduran saja, Denok!" suruh Juragan.


Saya nuruti perintahnya, perlahan-lahan saya rebahkan tubuh atas saya. Ke-2  tangan saya masih nutupi sepasang tetek saya. Sanggul yang belum saya lepas (apa harusnya saya lepas pula?) ngganjal belakang kepala saya. Serta sembari saya tiduran itu, tangan Juragan berlaga sangkutan paling akhir kain saya di pinggang. Aduhhh biyung. Ke-2  tangan saya buat pekerjaan: satu membentang di muka dada, satu turun ke bawah nutupi kancut saya.


Saya sangsi, tetapi tidak tahu mengapa, saya pula kok rasa hasrat saya bangun? Aduh? Kok ini jadi? Juragan tiada henti menyaksikan sekujur badan saya, sembari memberi pujian.


"Mari donk, gak mesti tertutupin," kata Juragan. "Tanganmu disingkirin donk? Denok, kalaupun kamu pengen kupegang, kutambah dua puluh ribu, ya…


Ke-2  tangan saya digenggam Juragan, lalu perlahan-lahan dimasukkan dari sisi tubuh saya. Duh, bubar dech pertahanan saya. Saat ini susu saya tidak ada yang tutupi. Saat ini kancut saya terlihat.


"Euh… Juragan… ingin pegang?" kata saya kebingungan. "Ja… jadi saat ini tujuh puluh ribu?"




BERSAMBUNG....

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama